Beranda » Artikel » Artikel Sejarah » Thaif: Tentang Pengusiran yang Berbuah Manis (Bag. 1)

Thaif: Tentang Pengusiran yang Berbuah Manis (Bag. 1)

Sepeninggal sang paman yang senantiasa melindungi, Abu Thalib, perlakuan kasar Quraisy kepada Rasulullah kian hari semakin menjadi

Sepeninggal sang paman, Abu Thalib, perlakuan kasar Quraisy kepada Rasulullah ﷺ kian hari semakin menjadi. Karena tak ada lagi sosok besar yang melindungi, wajar saja bila Quraisy kini berani. Selama hidupnya, Abu Thalib seakan menjadi tameng bagi Rasulullah ﷺ dan dakwahnya, meskipun ia sendiri tak pernah menyambut seruan mulia itu.

Menuju Thaif

Merasakan gangguan yang begitu berat dari kaumnya sendiri, Rasulullah ﷺ mencoba peruntungannya menuju Thaif, sebuah daerah subur dan sejuk yang kini terkenal akan anggur dan madunya, sekitar 86 km di sebelah timur Makkah.

Beliau ﷺ berjalan ke sana seorang diri (dalam sumber lain disebutkan bahwa beliau ﷺ berangkat bersama bekas budaknya, Zaid bin Haritsah).

Harapan besar seolah terpampang di hadapan Rasulullah ﷺ manakala telah memasuki Thaif. Rasulullah ﷺ tinggal di sana selama sepuluh hari. Pada hari-hari itu, beliau ﷺ mengajak setiap kabilah yang dijumpainya untuk memeluk Islam. Namun sayang, tak satu pun yang mau menyambut dakwah beliau ﷺ.

Rasulullah ﷺ sekarang mulai mendakwahi Bani Tsaqif (penduduk Thaif). Akan tetapi, sama saja; mereka sama sekali tidak mengindahkan ajakan beliau ﷺ. Maka dari itu, beliau ﷺ berniat untuk langsung mendakwahi pemimpin mereka.

Beliau ﷺ saat itu segera menemui tiga bersaudara dari Bani Tsaqif yang semuanya merupakan pembesar di negeri tersebut. Mereka adalah Abu Yalail, Mas’ud, dan Hubaid; ketiganya adalah putra Amr bin Umair. Rasulullah ﷺ hendak mengajak mereka untuk masuk Islam dan kemudian bersedia menolong dan membela dakwah beliau ﷺ.

Harapan yang (Sedang) Hilang

Bagai sedang menghadapi kaumnya sendiri, kini, di Thaif, Rasulullah ﷺ juga mendapatkan hal yang serupa, bahkan mungkin lebih menyakitkan bagi beliau ﷺ yang sejatinya adalah seorang penyabar.

“Kalau memang benar engkau adalah utusan Allah, berarti engkau telah lancang melepaskan tirai Ka’bah—menghinakannya,” ucap salah seorang dari mereka dengan keras.

Tak ketinggalan, seolah memang ditakdirkan untuk bersama-sama menjadi pembesar dan besar kepala, saudaranya juga menambahkan, “Apakah tidak ada orang lain yang lebih pantas untuk diutus menjadi rasul, selain engkau?!”

“Jika engkau adalah utusan Allah, seharusnya kami tidak dapat berbicara denganmu. Namun, jika engkau berduta, sungguh amat tak pantas jika seorang rasul itu berdusta,” tutup yang ketiga, seakan memantapkan penolakan mereka terhadap ajakan Rasulullah ﷺ.

Dengan hati yang pilu karena mendengar jawaban pedas dari tiga bersaudara tersebut, Rasulullah ﷺ hanya menimpali mereka dengan sebuah permintaan,

“Kalau kalian memang tidak menerima ajakanku, tak mengapa. Akan tetapi, rahasiakanlah pembicaraan ini dan jangan beri tahukan kepada kaummu.”

Rasulullah ﷺ khawatir bila pembicaraan ini terdengar sampai ke telinga Bani Tsaqif, mereka akan menyakiti beliau ﷺ sebagaimana yang dilakukan Quraisy di Makkah.

Benar saja, tak puas dengan hanya memaki Rasulullah ﷺ di majelis, tiga bersaudara ini justru memanggil kaumnya, terutama dari kalangan orang-orang bodoh dan kaum budak, untuk ikut memaki Rasulullah ﷺ. Mereka semua berhamburan keluar mendatangi Rasulullah ﷺ, memaki beliau, bahkan sampai melempari beliau ﷺ dengan batu.

Akhirnya, dengan kaki yang berlumuran darah karena lemparan batu, Rasulullah ﷺ berjalan keluar dari Thaif bersama harapan yang kini (sedang) sirna …


Sumber:

  • Abdul Malik bin Hisyam. 1995. Sirah Nabawiyah. Dar ash-Shahabah
  • Muhammad bin Abdul Wahhab. 1956. Mukhtashar Sirah ar-Rasul, hlm. 111—112. Dar al-Kitab al-Arabi.
  • Shafiyurrahman al-Mubarakfuri. 2006. Sirah Nabawiyah: Taman Cahaya di Atas Cahaya Perjalanan Hidup Rasulullah, hlm. 127—130. Terjemahan oleh Muhammad Daz bin Munir 2006. Tegal: Ash-Shaf Media.
  • https://id.wikipedia.org/wiki/Ta%27if
DMCA.com Protection Status