Beranda » Artikel » Artikel Sejarah » Rasulullah ﷺ dan Sebuah Teguran

pexels-photo-3081750-kisah-Rasulullah-dan-Abdullah-bin-Ummi-Maktum

Jika bukan karena teguran itu, mungkin sampai hari ini pun kita masih saja jemawa. Namun, karena teguran itu, hati ini diingatkan agar ia tetap merendah bersama bentala.

Seorang “Kecil” di Tengah Para Pembesar

Selain sang paman, al-Abbas bin Abdul Muththalib, turut hadir pula ketika itu beberapa pembesar Qurasiy, yang sedang duduk berkumpul untuk “mendengarkan” apa yang hendak disampaikan Rasulullah ﷺ. Mereka adalah dua bersaudara putra Rabiah, yakni Utbah dan Syaibah, serta Abu Jahal bin Hisyam.¹

Kehadiran al-Abbas di majelis tersebut adalah untuk menemani Rasulullah ﷺ. Al-Abbas tak kalah semangat untuk mengajak sesama kerabatnya agar mau memeluk Islam.

Waktu itu, saat Rasulullah ﷺ sedang berbicara di hadapan mereka, para pembesar Quraisy, datanglah Abdullah bin Qais bin Zaidah bin al-Ashamm, bersama seseorang yang menuntunnya. Ya, ia adalah seorang buta yang lebih kita kenal dengan nama Abdullah bin Ummi Maktum atau Ibnu Ummi Maktum.²

Meski berasal dari Bani Fihr³, beliau masih satu kerabat dengan Khadijah bintu Khuwailid, istri pertama Rasulullah ﷺ. Sebab, ibunda dari Khadijah, yang bernama Fathimah, adalah saudari Qais bin Zaidah (ayah Ibnu Ummi Maktum).

Raut wajah Rasulullah ﷺ perlahan berubah ketika Ibnu Ummi Maktum terus saja memanggil, meminta diajarkan tentang Islam. Karena buta, ia tak tahu bahwa saat itu Rasulullah ﷺ sedang bersama para pembesar Quraisy, yang juga sedang mendakwahi mereka Islam.

Rasulullah ﷺ sudah memberikan isyarat kepada orang yang menuntun Ibnu Ummi Maktum agar menyuruhnya diam atau setidaknya menunggu sampai beliau selesai dari majelis tersebut. Namun, Ibnu Ummi Maktum tetap kukuh,

“Wahai Rasulullah, bimbinglah aku, ajari aku apa yang telah diajarkan Allah kepadamu.”

Rasulullah ﷺ tetap tak acuh, seakan tidak menghiraukan kehadiran Ibnu Ummi Maktum. Saat itu beliau ﷺ memang sedang bermajelis bersama para pembesar; dan ketika seseorang yang “bukan siapa-siapa” itu datang hendak mengikuti majelis tersebut, wajar saja jika beliau ﷺ gelisah.

Beliau ﷺ khawatir bila mereka, para pembesar Quraisy, akan mencibir dakwah yang beliau ﷺ serukan, karena datangnya seorang yang buta dan “bukan siapa-siapa”.

Namun, melalui peristiwa tersebut, turunlah sebuah teguran dari langit. Teguran yang mengajari beliau ﷺ agar tak lagi memalingkan muka dan bermuka masam kepada mereka yang jujur ingin berislam.

Allah Maha Mengetahui Siapa yang Lebih Jujur Hatinya

Tak tanggung-tanggung, dari atas langit ketujuh itulah Allah _ta’ala_ menegur, menasihati utusan-Nya ﷺ agar menjadi pribadi yang kian luhur.

Melalui sepuluh ayat ini, Allah membuka surah Abasa (Yang Bermuka Masam),

“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena seorang buta telah datang kepadanya.

Tahukah engkau (Muhammad), barangkali dia ingin menyucikan dirinya (dari dosa), atau dia ingin mendapatkan pengajaran, yang memberikan manfaat kepadanya?

Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup (para pembesar Quraisy), engkau (Muhammad) memberikan perhatian kepadanya.

Padahal, tidak ada (cela) atasmu sekiranya dia (pembesar Quraisy) tidak menyucikan diri (beriman).

Adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), dan dia takut (kepada Allah), engkau (Muhammad) malah mengabaikannya.

Sekali-kali jangan (begitu)! Sungguh, (ajaran-ajaran Allah) itu suatu peringatan. Maka barang siapa menghendaki, tentulah ia akan memperhatikannya.” (Abasa: 1—12)

Rasulullah ﷺ dirasuki rasa bersalah yang sedemikian besarnya setelah ayat ini turun. Maka, sejak saat itu, tiap kali Rasulullah ﷺ berjumpa dengan sahabatnya yang buta itu, beliau ﷺ tak lupa dan tak henti-hentinya memberikan penghormatan.

Apabila Ibnu Ummi Maktum datang, Rasulullah ﷺ akan dengan gembira menyapanya,

“Wahai seorang kawan yang telah membuat Allah menegur dan menyadarkanku.”

Pun ketika ia hendak beranjak, Rasulullah ﷺ tak akan sungkan untuk menanyainya,

“Apa ada lagi yang engkau butuhkan?”

Sebenarnya, Justru Kitalah yang Lebih Layak Ditampar

Kita, yang dilerai oleh empat belas abad dan semakin menjauh dari masa kenabian ini, ternyata masih saja sesumbar.

Dengan angkuhnya kita sibuk memilah mengenai siapa yang “berhak” mendapatkan hidayah, seakan agama ini hanya diperuntukkan bagi para bangsawan.

Bila mau sadar dan melihat lebih jauh ke dalam, diri ini seharusnya lebih dari sekadar malu.

Bila melihat betapa munafik dan penjilatnya diri ini, sudah seharusnya ia tergerak untuk berbenah dan jujur dalam berdakwah.

Agama ini adalah milik-Nya. Dia akan memberikannya kepada siapa saja yang dikehendaki; dan sekarang, tugas kita adalah memperjuangkannya dengan segenap kejujuran diri.


¹ Sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat dari Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim

² Demikian yang dinyatakan oleh Ibnu Hibban

³ Hal ini disebutkan dalam sebuah riwayat dari Muhammad bin Amr, dari Abu Ashim, dari Isa, dari al-Harits, dari al-Hasan, dari Warqa; semuanya meriwayatkan dari Abu Najih, dari Mujahid.


Sumber:

  • Tafsir Ibnu Katsir, surah Abasa
  • Tafsir al-Qurthubi, surah Abasa
  • Tafsir ath-Thabari, surah Abasa
  • islamstory.com
DMCA.com Protection Status