Beranda » Artikel » Artikel Sejarah » Anak dari Seratus Ekor Unta

Anak dari Seratus Ekor Unta

Quraisy pada hari itu dibuat gempar ketika mendengar bahwa tokoh mereka yang paling dihormati, Abdul Muththalib, hendak menyembelih putra kesayangannya, Abdullah.

kisah ayah Nabi Muhammad, Abdullah, yang akan disembelih tapi kemudian ditebus dengan seratus ekor unta

kisah ayah Nabi Muhammad, Abdullah, yang akan disembelih tapi kemudian ditebus dengan seratus ekor unta

Quraisy pada hari itu dibuat gempar ketika mendengar bahwa tokoh mereka yang paling dihormati, Abdul Muththalib, hendak menyembelih salah satu anaknya, Abdullah. Tak hanya para pembesar Quraisy yang berusaha mencegah sang tokoh, tapi juga anak-anak mereka sendiri yang tak lain merupakan teman-teman dari Abdullah.

“Demi Allah, jangan engkau sembelih dia, setidaknya sampai engkau bisa mendapatkan alasan untuk mengurungkan niatmu itu. Sadarlah, jika setiap orang di sini membunuh anak lelakinya karena mengikuti perbuatanmu, tidak akan tersisa lagi seorang pun di Quraisy!” kata mereka mencoba membujuk Abdul Muththalib.

Dalam hati, Abdul Muththalib sebenarnya juga tidak ingin menyembelih Abdullah, si bungsu yang paling disayanginya. Namun, karena nama yang keluar dalam undian adalah Abdullah, mau tak mau Abdul Muththalib harus menunaikan nazarnya—menyembelih salah satu anaknya sebagai wujud syukur!

Beberapa orang dari Quraisy mencoba memberikan solusi lain untuk Abdul Muththalib, termasuk kawan dekatnya, al-Mughirah bin Abdullah bin Amr bin Makhzum, yang bahkan rela menebus Abdullah dengan hartanya. Abdul Muththalib bergeming dalam keraguannya. Dirinya enggan, tapi ini adalah nazar, yang berarti harus ditunaikan.

Seakan tak memiliki pilihan lain, Quraisy menyuruhnya untuk mendatangi seorang tukang ramal yang berada di Hijaz. Barangkali ada jalan keluar yang lebih baik untuk masalah ini, menurut mereka. 

Diturutilah saran tersebut oleh Abdul Muththalib. Ia segera menemui tukang ramal yang dimaksud.

Setibanya di rumah si tukang ramal itu, Abdul Muththalib menceritakan semuanya. 

Si tukang ramal kemudian bertanya, “Berapa tebusan yang biasa kalian berikan untuk setiap orang yang terbunuh?”

“Sepuluh ekor,” jawab Abdul Muththalib.

“Kalau begitu, kembalilah. Kemudian tebuslah orang ini (Abdullah) dengan sepuluh ekor unta, dan undilah kembali. Jika namanya masih keluar pada undian tersebut, tambahlah sepuluh ekor unta lalu undilah kembali sampai yang keluar pada undian tersebut adalah ‘unta’,” perintah si tukang ramal kepada Abdul Muththalib.

Demi si bungsu kesayangannya dan karena tidak ingin melanggar nazar, Abdul Muththalib menaati perintah si tukang ramal. Ia segera kembali menuju Makkah dan memulai undiannya kembali.

Undian ala jahiliah itu dimulai. Sepuluh ekor unta didatangkan sebagai tebusan untuk Abdullah. Ketika undian tersebut dibuka, keluarlah nama Abdullah. Undian pun kembali diulang. Abdul Muththalib menambah jumlah unta tebusan—menjadi dua puluh, lalu berdoa. Ketika dibuka untuk yang kedua kalinya, yang keluar masih saja Abdullah.

Abdul Muththalib risau. Ia masih belum rela. Berapa pun unta yang harus dikeluarkan demi tertebusnya Abdullah, rela ia bayarkan. Ditambahlah jumlah unta tebusan tadi menjadi tiga puluh ekor dan tetap saja tidak berubah, bahkan empat puluh pun seakan masih terlalu murah bagi nyawa Abdullah. Ya, undian itu seolah melambungkan nilai tawar untuknya.

Barulah kemudian, ketika unta tebusan telah mencapai jumlah seratus ekor—yang Makkah tentu saja akan dibuat penuh dengan jumlah tersebut, keluarlah “unta” pada undian itu. Abdullah si bungsu bernilai seratus ekor unta!1

Akan tetapi, di tengah-tengah perasaan lega itu, Abdul Muththalib masih ragu: benarkah ini? Apakah ini bukan sebuah kebetulan?

Undian pun kembali diulang, antara Abdullah dan seratus ekor unta. Setelah tiga kali undian itu dilakukan dan yang keluar adalah “unta”, kini Abdul Muththalib menjadi yakin. Ia bersyukur. Seratus ekor unta tadi, yang menjadi tebusan bagi Abdullah si bungsu, lalu disembelih.

Abdul Muththalib telah menunaikan nazarnya dan Abdullah, anaknya yang paling kecil sekaligus paling mahal, terselamatkan.

Dengan hikmah dan keadilan-Nya yang sempurna, Allah ta’ala menakdirkan Abdullah si bungsu untuk tetap hidup, karena melalui dirinyalah, akan lahir seorang anak berparas tampan yang kelak akan menjadi utusan bagi seluruh alam …


1 Ternyata, dalam syariat Islam pun demikian. Pada kasus pembunuhan yang disengaja (bila korbannya adalah seorang muslim), si pelaku harus membayar diat (denda) berupa 100 ekor unta yang 40 ekor di antaranya sedang bunting.

Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits dari sahabat Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya radhiallahu anhum, yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah.


Sumber:

Abdul Malik bin Hisyam. 1995. Sirah Nabawiyah, jilid 1 hlm. 199—203. Dar ash-Shahabah, dengan ringkasan

DMCA.com Protection Status