ADAB BUTUH KETELADANAN

بسم الله الرحمن الرحيم
Sadarkah kita? Adab adalah ruh dari ilmu. Tanpanya, ilmu kehilangan cahayanya, nasihat kehilangan maknanya, dan hubungan antar manusia kehilangan kehangatannya.
Kita hidup di zaman di mana banyak orang pandai berbicara tentang adab, namun apakah banyak yang bisa menjaganya? Padahal, adab tidak cukup diajarkan lewat kata-kata. Ia bisa tumbuh melalui keteladanan yang nyata.
Adab merupakan warisan dari hati yang bersih, bukan sekedar dari lisan yang fasih. Ia terlihat dalam cara seseorang memperlakukan gurunya, dalam bagaimana ia menghormati orang tuanya, dan dalam bagaimana ia memaklumi saudaranya tatkala berselisih.
Oleh karena itu, serial tulisan ini ingin mengajak kita semua untuk menatap cermin, bukan untuk mencari siapa yang kurang beradab, akan tetapi untuk introspeksi dan memperbaiki diri agar rantai keteladanan itu tidak putus di tangan kita.
Sanggupkah kita bersikap rendah hati untuk terus memperbaikinya?
Adab Menular Melalui Keteladanan
Adab tak sekedar teori atau wawasan belaka, namun ia hidup melalui contoh. Keteladanan merupakan cara yang paling kuat untuk menanamkan adab ke dalam hati seseorang.
Seorang anak akan belajar menghormati orang tua tak sebatas dari panjangnya nasehat sang ayah, namun dari bagaimana sang ayah tersebut memperlakukan kakek neneknya.
Adik akan belajar menghormati kakaknya bukan karena takut, namun karena melihat sang kakak sabar saat dinasihati.
Demikian pula seorang murid, ia belajar beradab kepada gurunya dengan melihat bagaimana sang guru beradab kepada gurunya sendiri.
Itulah rantai emas adab. Apabila satu mata rantainya putus, maka goyahlah kesinambungan akhlak di generasi berikutnya.
Maka sungguh betapa penting arti sebuah keteladanan. Sebab sosok figur terkhusus lagi figur umat apabila tidak bisa menjaga adab, berarti ia sedang memutus rantai itu dengan tangannya sendiri. Seorang guru bisa saja berbicara panjang lebar tentang akhlak, namun yang sampai ke hati muridnya adalah perlawanan terhadap apa yang diucapkan oleh sang guru.
Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah pernah berkata:
تَعَلَّمِ الأَدَبَ قَبْلَ أَنْ تَتَعَلَّمَ العِلْمَ
“Pelajarilah adab sebelum engkau belajar ilmu.” (Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’, jilid 6, hal. 330)
Ilmu yang tidak dibingkai dengan adab, maka akan berubah menjadi kesombongan. Dan adab yang tidak disertai dengan keteladanan maka akan kehilangan ruhnya.
Sehingga siapa pun kita, baik orang tua, kakak, guru, atau murid, jangan pernah berhenti memberi keteladanan atau contoh yang baik. Sebab keteladanan merupakan dakwah paling sunyi, namun sangat dalam menghunjam dalam hati.
Ketika Guru Tidak Menjadi Teladan
Guru merupakan sebuah profesi yang mulia sampai-sampai muncul julukan pahlawan tanpa tanda jasa. Istilah guru sendiri kalau kita runut ternyata berasal dari bahasa sanskerta yaitu Gu dan Ru, Gu memiliki makna kegelapan, sedangkan Ru berarti bercahaya. Gabungan kedua kata itu akhirnya membentuk sebuah makna bahwa guru adalah orang yang mampu membawa cahaya dalam kegelapan. Sementara dalam istilah orang Jawa, guru adalah sebuah kata yang mempunyai makna digugu lan ditiru.
Digugu artinya perkataannya harus bisa dipertanggungjawabkan, lan artinya adalah “dan” sedangkan ditiru memiliki makna sikap dan perbuatannya dapat menjadi teladan bagi siswanya. Pemberian julukan dan makna istilah guru tersebut menyiratkan bahwa seorang guru haruslah menjadi teladan bagi anak-anak didiknya dikarenakan memiliki peran yang sangat besar dalam dunia pendidikan.
Sosok guru teladan adalah sosok yang mengamalkan apa yang dia perintahkan kepada anak didiknya. Baik ketika memerintahkan anak didiknya untuk berakhlak yang baik maupun perintah lainnya.
Hati-hatilah jangan sampai perbuatan dan ucapan seorang guru menyelisihi apa yang telah dinasehatkan sendiri kepada anak-anak didiknya.
Seorang guru jangan hanya mampu menjadi pengajar namun tidak bisa mengamalkan atau melakukan apa yang dia nasehatkan kepada anak didiknya.
Atau bahkan dia sendiri terjerumus ke dalam perbuatan terlarang yang telah dia peringatkan kepada anak didiknya, na’udzubillah.
Sungguh ironis, tatkala seorang pengajar justru melakukan kemungkaran yang sebelumnya pernah dia peringatkan hal itu kepada anak didiknya. Jangan sampai kehormatan dan wibawa seorang guru jatuh selama-lamanya dimata anak didik tatkala ucapan dan perbuatannya tidak sesuai dengan apa yang selama ini diajarkan kepada anak didiknya.
Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ
كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. ash-Shaf ayat 2 – 3)
Dalam ayat tersebut Allah Ta’ala menegur orang-orang beriman yang mengatakan sesuatu, tetapi tidak melaksanakannya. Allah Ta’ala mengingatkan bahwa hal tersebut adalah perbuatan yang sangat dibenci-Nya.
Seorang mukmin seharusnya selaras antara ucapan dan perbuatan. Allah Azza wa Jalla menginginkan kejujuran, komitmen, dan tanggung jawab atas setiap kata yang diucapkan.
Ayat ini mengajarkan kepada kita untuk tidak hanya pandai dalam berbicara, tetapi juga berusaha mewujudkan dalam tindakan.
Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ، وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ، وَمِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعُ، وَمِنْ دَعْوَةٍ لَا يُسْتَجَابُ لَهَا
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyuk, dari jiwa yang tidak pernah puas, dan dari doa yang tidak dikabulkan.” (HR. Muslim no. 2722)
Ilmu yang tidak bermanfaat adalah ilmu yang tidak diamalkan, tidak disampaikan kepada orang lain dan tidak bisa menata akhlak pemiliknya dengan baik.
Dampak negatif dari ilmu yang tidak bermanfaat adalah ilmu tersebut justru akan menjadi bumerang bagi pemiliknya sehingga kelak akan dituntut di hadapan Allah pada hari kiamat.
Ilmu yang bermanfaat haruslah mendorong amal dan kebaikan bagi pemiliknya. Ilmu bukan hanya untuk pengetahuan atau wawasan semata, tapi harus memotivasi pemiliknya untuk beramal shalih, mendekatkan diri kepada Allah dan bermanfaat bagi sesama.
Seorang penyair mengatakan:
يَا أَيُّهَا الرَّجُلُ المُعَلِّمُ غَيرَهُ
هَلَّا لِنَفسِكَ كَانَ ذَا التَّعلِيمِ
“Wahai orang yang mengajarkan orang lain,
mengapa engkau tidak mengajarkan dirimu sendiri?”
Syair ini ditujukan kepada orang yang pandai menasihati orang lain, tetapi tidak mengamalkan nasihat itu untuk dirinya sendiri. Ia tahu yang benar, tetapi tidak melakukannya.
Contoh:
Seorang guru sering mengingatkan kepada muridnya untuk berkata jujur, namun sang guru sendiri tidak jujur dalam berucap.
Syair ini mendorong kita untuk memulai perbaikan dari diri sendiri sebelum menuntut orang lain berubah. Nasihat akan lebih berpengaruh apabila disampaikan oleh orang yang telah melakukannya.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Apakah kamu menyuruh manusia (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab? Maka tidakkah kamu berpikir?” (QS. al-Baqarah ayat 44)
Ayat ini merupakan teguran kepada orang yang menyerukan kebaikan akan tetapi melupakan kebaikan bagi dirinya sendiri. Orang yang mengajarkan kebaikan tetapi tidak mengamalkannya bisa termasuk dalam golongan munafik atau alim yang buruk.
Dalam sebuah hadits dikisahkan:
يُؤْتَى بالرَّجُلِ يَومَ القِيَامَةِ، فيُلْقَى في النَّارِ، فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُ بَطْنِهِ، فَيَدُورُ بهَا كما يَدُورُ الحِمَارُ بالرَّحَى، فَيَجْتَمِعُ إلَيْهِ أَهْلُ النَّارِ، فيَقولونَ: يا فُلَانُ ما لَكَ؟ أَلَمْ تَكُنْ تَأْمُرُ بالمَعروفِ، وَتَنْهَى عَنِ المُنْكَرِ؟ فيَقولُ: بَلَى، قدْ كُنْتُ آمُرُ بالمَعروفِ وَلَا آتِيهِ، وَأَنْهَى عَنِ المُنْكَرِ وَآتِيهِ
“Sesungguhnya seorang laki-laki akan didatangkan pada hari kiamat, lalu dilemparkan ke dalam neraka. Maka terburailah ususnya, lalu dia berputar-putar dengannya seperti keledai berputar di penggilingan. Maka penduduk neraka berkumpul mengelilinginya, lalu mereka berkata:
‘Wahai fulan, ada apa denganmu? Bukankah dulu engkau yang menyuruh kami untuk melakukan kebaikan dan melarang kami melakukan kemungkaran?’
Dia menjawab: ‘Benar, aku dulu pernah menyuruh kalian melakukan kebaikan akan tetapi aku sendiri tidak melakukannya, aku dulu melarang kalian dari kemungkaran akan tetapi aku sendiri justru melakukannya.” (HR. Muslim no. 2989)
Hadits ini menjadi peringatan keras bagi siapa saja yang menyeru kebaikan tapi tidak mengamalkannya, atau melarang dari suatu kemungkaran namun justru terjerumus didalamnya.
Keteladanan yang diberikan seorang guru akan mampu memberikan pengaruh yang luar biasa dibanding hanya sekedar beberapa kalimat manis yang diucapkan. Mengajar melalui contoh nyata justru lebih efektif dibandingkan sekedar ucapan belaka. Keteladanan telah menjadi daya tarik yang kuat agar orang lain ikut mencontohnya.
Contoh penerapan dalam keseharian:
Orang tua ingin anaknya rajin salat maka orang tua perlu rajin salat terlebih dahulu.
Guru ingin anak didiknya disiplin maka guru harus disiplin hadir dan tepat waktu.
Syair di atas bukan maknanya melarang seseorang untuk mengajarkan kebaikan kepada orang lain, tetapi peringatan agar jangan melupakan kewajiban kepada diri sendiri yaitu memperbaiki dirinya. Kedua hal ini harus seimbang, antara mendidik orang lain sambil terus memperbaiki diri.
Syair ini mengajarkan pentingnya keselarasan antara ilmu, ucapan dan perbuatan. Ilmu tanpa amal akan berbahaya, sedangkan ilmu yang diamalkan akan menjadi cahaya dan keberkahan.
Sehingga tatkala seorang guru mampu menjadi teladan yang baik bagi anak-anak didiknya maka jadilah ia seorang guru yang digugu lan ditiru dan sebaliknya tatkala seorang guru tidak bisa menjadi teladan yang baik bagi anak-anak didiknya maka jadilah ia seorang guru yang digugat dan diburu.
Menjaga Ukhuwah & Tafahum
Ilmu seharusnya menyatukan hati manusia di atas kebenaran. Namun sering kali, perbedaan pendapat justru menjadi alasan untuk saling menjauh, karena hilangnya adab dan tafahum (saling memahami).
Para ulama dahulu berbeda dalam banyak hal yang bersifat cabang, namun mereka tetap saling menghormati. Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah pernah berselisih pendapat dalam masalah furu’iyyah dengan sebagian ulama ahlussunnah sezamannya, tapi beliau tidak mencela dan menjatuhkan kehormatan mereka.
Karena beliau tahu, menjaga kehormatan seorang alim Ahlussunnah adalah bagian dari menjaga kehormatan ilmu itu sendiri.
Yang perlu difahami oleh kita bersama bahwa yang namanya ukhuwah (jalinan persaudaraan) tidaklah memberikan konsekuensi harus selalu sepakat, sama atau seiya sekata dalam semua perkara-perkara yang terkait dengan agama. Namun yang namanya ukhuwah adalah bagaimana tetap menjaga hati di tengah fenomena perbedaan yang sifatnya furu’ atau ijtihadiyah. Adapun makna tafahum (saling memahami) tidaklah berarti membenarkan semua pandangan, akan tetapi hendaklah berusaha memahami alasan dan memberi ruang bagi saudara kita untuk tetap dihormati.
Kita sering lupa, bahwa kesalahan yang dilakukan oleh saudara kita, tidak lantas menghapus seluruh kebaikan-kebaikannya. Maka wahai saudaraku, janganlah mudah menjatuhkan kehormatan saudara seiman. Saudara kita yang kita cela dihadapan manusia, bisa jadi di sisi Allah lebih mulia amalannya.
Maka marilah kita jaga ukhuwah imaniyah ini dengan lapang dada, dan jagalah adab ilmu dengan cinta, bukan amarah secara personal. Sebab ilmu tanpa ukhuwah akan kering, dan ukhuwah tanpa tafahum akan menjadi rapuh.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.” (QS. al-Ma’idah: 2)
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Tim Redaksi Artikel
Media Ukhuwah Anak Kuliah